Ilustrasi Gambar |
Alkisah dahulu terdapat satu pesantren yang terkenal yaitu Rubath Tarim. Pesantren inilah yang telah melahirkan ribuan ulama islam yang tersebar di seluruh dunia. Disana para santri ajarakan berbagai macam ilmu fiqih, tauhid, dan tafsir. Ada salah seorang santri, sebut saja namanya Rahman. Ia sudah bermukim di pondok tersebut kurang lebih hingga 13 tahun dan berguru kepada Aulia Habib Abdullah Bin Umar Bin Assyatiri. Nama Rahman sudah tidak asing lagi di dengar, ia terkenal dengan seorang santri yang sangat cerdas, mudah menghafal,tangkas dan rajin. Rahman termasuk santri yang memiliki derajat yang tinggi, tak hanya itu bahkan ia sudah memahami semua ilmu fiqih di Kitab Tuhfatul Muhtaj.
Kitab Tuhfatul Muhtaj memiliki tebal yang setara dengan 10 jilid dimana kitab ini memilki 5 jilid cetakan. Kebiasaanya membuat ia banyak teman karena teman temannya membutuhkannya ketika ada pelajaran yang belum di mengerti. Namanya pun tersohor hingga luar pesantren. Hingga masyarakat pun memastikan bahwa ia akan menjadi seorang ulama besar di waktu yang akan datang.
Tak kunjung diam setan pun akhirnya merasuki tubuhnya, seketika Rahman merasa sudah mempunyai ilmu yang sangat tinggi yang menyetarai guru besarnya bahkan ia berani memanggil gurunya dengan hanya namanya saja “Yaa Abdullah” Naudzubillah. Dalam sudut pandang ilmu hal ini sangat lah tercela dan kesombongannya sudah melewati batas. Menurut ulama di jelaskan barangsiapa yang memanggil gurunya dengan Namanya saja maka ia tidak akan meninggal kecuali ia merasakan fakir ilmu dan materi.
Melihat kesombongan Rahman, sang syekh memilih untuk diam dan sabar atas sikap buruk kepadanya. Menurut syekh Muhammad bin Ali Al Ba’athiah, Sang syekh mengatakan “Barangsiapa yang tidak sopan pada gurunya akan mendapat azab dari Allah SWT.”
Kesombongannya berlanjut, pada suatu hari ia pergi keluar dari Rubath Tarim menuju kota Mukalla untuk berdakwah tanpa izin dari sang syekh Habib Muhammad Bin Ali Bin Umar Assyatiri. Hingga pada saat majlis santri Sang Syekh tidak melihat Rahman yang biasanya duduk di paling depan saat majlis dimulai. “Dimana Rahman?” sang syekh bertanya pada santri santrinya. Santri yang mengetahuinya menjawab “Dia sedang berdakwah di kota Mukkala yaa Syekh” “Apakah ia izin kepadaku sebelum ia pergi” kata sang syekh. Para santri terdiam, “Biarkanlah ia pergi tetapi ilmunya masih tetap disini” kata sang syekh.
Di sisi lain, sang santri sudah sampai pada kota Mukalla Yaman. Para ahli ilmu, para murid. Dan mereka yang mencintai Habib Abdullah Assyatiri mendengar telah datang adalah seorang senior yang berasal dari pondok Rubath Tarim untuk berceramah di Masjid Baumer Mukallaf Qodim. Mereka pun berbondong bondong segera bergegas pergi ke masjid tersebut untuk mendengarkan taushiyah santri tersebut. Dengan kesombongannya santri tersebut, ia naik ke atas mimbar dan memulai taushiyahnya setelah berkumpulnya ribuan orang.
Rahman memulai taushiyahnya dengan membaca basmallah, muqaddimah, menjunjung shalawat kepada baginda Nabi Muhammad, lalu ditutup dengan amma ba’du. Kemudian Rahman membacakan sebuah ayat dalam Al Quran, ketika ingin menjelaskan daripada tafsirnya ayat yang tadi ia bacakan tiba tiba ia terdiam layaknya sebuah tiang, mematung. Ia merasa kebingungan untuk melanjutkan ayat tersebut, hingga duduk kurang lebih dari 5 menit dan terdiam dihadapan para Jemaah di Masjid Baumer Mukallaf Kodim.
Rahman menoleh kepada para Jemaah yang juga sedang memandang dia dengan kebingungan. Akhirnya ia menunduk dan menangis, hafalan yang ia sudah hafal dan pahami hilang seketika. Bahkan kitab terkecil pun seperti Safinatunnajah tak satu kalimat pun terlontar dari mulutnya, apalagi kitab Tuhfatul muhtaj yang sudah susah payah ia pahami dan hafalkan hilang karena kesombongannya. Jamaah pun terkejut dengan kejadian tersebut. Salah satu dari jamaah tersebut terdapat ahli ilmu Habib Abdullah Shodiq Al Habsyi yang juga pernah bermukim di pondok Rubath Tarim selama 9 tahun, ia tahu pasti ada yang tidak beres dengan santri tersebut. Datanglah kabar bahwa santri itu tidak sopan kepada gurunya yakni Habib Abdullah Bin Ali Bin Umar Assyatiri. Kemudian ahli ilmu tersebut menyarankan untuk Rahman meminta maaf kepada sang guru karena ia sudah dikuasai oleh setan karena keengganannya sopan terhadap gurunya.
Namun ia menolaknya, dan tidak mau untuk meminta maaf kepada gurunya. Setelah kejadian itu, orang orang menjauhinya karena tidak suka pada sikap sombongnya. Tidak ada satupun yang peduli terhadapnya bahkan setelah mengetahui ia telah miskin dan terlunta lunta. Rahman bertahan hidup dengan menjual daging ikan kering.
Ketika Rahman wafat, harta nya tak mampu untuk membeli kain kafan. Akhirnya ada seorang dermawan yang nyedekahkan kain kafan untuk Rahman, seorang tersebut ialah habib Abdullah Al Habsyi. Tak hanya memberi kain kafan, habib pun turut mengurus jenazahnya Rahman. Imam Na Nawaai berkata seyogyanya murid ialah tawadhu dan rendah hati kepada guru dan hendaklah ia menjaga tatakrama, etika, dan sopan santun kepada sang guru, meskipun sang guru lebih muda, tidak terkenal, nasabnya rendah jika ia memuliakan guru niscaya ia akan mendapat ilmu tersebut.