Ilustrasi |
Bismillahirrahanirrahim, ini kisah perjalananku dalam mencari Ilmu Agama.
Semua berawal dari lika-liku dilema ketika duduk di bangku SMA, kala itu pada kelas 3 SMA diri pun mulai mencari kata “Jati Diri”, entah menjadi seseorang yang banyak orang kenal, entah menjadi pelajar yang disiplin akan keilmuan, entah hanya menjadi benalu yang hinggap dalam sebuah lingkungan dan tanpa berbuat apa-apa, atau bahkan tak mengenal kata “Jati Diri”.
Dari sanalah sejatinya diriku memulai mencari rana-rana lingkungan yang terasa nyaman bagiku. Teman, iya itulah yang pertama dicari olehku, jujur saja sejatinya arti kata “teman” ini cukup sulit diartikan bilamana tidak disangkut-pautkan dengan agama, bagaimana tidak, sejauh saya mencari teman, hampir setiap pertemanan memiliki pola yang sama; Berkenalan, saling sapa, saling bertukar pikiran akan pemahaman yang sama, mulai intens berkenalan, berteman, saling memberi pertolongan akan suatu hal, mulai menjalin ukhuwah yang lebih erat dan yang terakhir yaitu perpisahan. nilah satu step dimana semua orang pasti membencinya, semua orang enggan mengharapkannya, tapi dari satu kejadian ini Allah buka jalan hidayah bagiku.
Bagiku pertemanan bukanlah hal yang penting bilamana dalam pertemanan itu hanya berakhir dengan perpisahan, karena pemikiran itulah aku beralih dengan teman dalam dunia maya, dunia dimana seseorang bisa menjadi seseorang yang lain, seseorang bisa menjadi pribadi yang lain dan seseorang bisa setia demi meraih satu tujuan. Game Online, itulah yang ada dibenakku, dari masa sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas. Mencari-cari jati diri dalam lingkup yang sangat luas.
Kelas 2 SMA telah terlewati, kelas 3 tak lama lagi, tapi diriku masih sibuk mencari jati diri. Disaat semua orang sibuk akan memikirkan perkuliahannya masing-masing, sibuk mengejar cita-citanya yang sebentar lagi akan tergapai, tapi apalah yang aku perbuat hanya diam dalam bangku, menatap sinar radiasi, berharap bisa berbuat suatu inovasi.
“Kamu, ya sekolah telat terus, gak pernah belajar di rumah, sekolah bolos terus, MAU JADI APA kamu.” itulah kata-kata yang diucap oleh ibuku setiap kali aku mengunjungi rumahku. Ya, “mengunjungi” karena setiap jam menit dan detik di hariku, semua terhabiskan diluar rumah, itu mengapa kata rumah menjadi asing di telingaku.
Sampai dimana satu titik Ibuku marah padaku karena saya tertinggal Shalat Subuh berjamaah di masjid selama tiga hari. Disana titik rendahku dimulai, aku merasa diasingkan, merasa hidup tak pernah ada tujuan, merasa hidup hanya menjadi beban bagi semua orang.
Dan akhirnya aku pun pergi meninggalkan persinggahanku, menanggalkan semua yang ada dalam pundakku, melampiaskan kepada semua teman-temanku yang setia duduk bersamaku.
Selama satu bulan kepergianku, tidak memberi kabar kepada siapapun, aku hanya melampiaskan semua dalam Game, berpura-pura tak terjadi apa-apa. Tapi setelah satu bulan lamanya kepergianku, aku mulai sadar, bukan ini cara menyelesaikan masalah, apa yang ku lakukan ini hanyalah kebodohan belaka, lari dari masalah, menjauh dari agama, apa ini hidup yang benar?
Akhirnya, aku berpikir bahwa semua butuh proses, semua ada timezone-nya masing-masing, mungkin dari sini diriku merasa titik dimana apabila kesenangan terus menerus diikuti alurnya, liat saja kemana alur itu menuju, apa menuju ketaatan kepada-Nya atau malah menjauh dari-Nya?
Dalam minggu-minggu awal di bulan kedua setelah kepergianku, aku mulai mencoba kembali kepada fitrahnya, yaitu dengan cara beribadah, sebagaimana Allah jelaskan pada Surat Adz–Dzariyat ayat 56. “Dan aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Alhamdulillah, dari cara inilah Allah menuntunku kepada jalannya, sungguh nikmat inilah yang selama ini selalu aku syukuri, tak terbayang apabila ku berdiam dalam penjara dunia itu, menatap sinar radiasi setiap harinya, tidak bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Mulailah aku menyampingkan rasa gengsiku untuk kembali ke “rumahku”, mengedepankan adab dan akhlak yang selama ini diajarkan oleh Ibuku. Mungkin bagi sebagian orang kisah ini tak berarti apa-apa, tapi bagiku inilah kisah perjalananku, bagaimana aku merasakan titik terendah dalam diriku di “penjara” itu, merasa tak memiliki siapapun, merasa ingin mengakhiri hidup. Langkah demi langkah mulai kupaksakan. Satu, dua, tiga langkah tak terasa hingga sampainya aku di kediamanku selama hamper tujuh belas tahun itu.
“Tok tok tok..” Kuberanikan diri mengetuk pintu rumahku sendiri, tak ada satu orang pun yang menjawab salamku, sampai akhirnya aku menengok sebelah tokoku, oh sepertinya Ibu dan Ayahku sedang bekerja.
Lalu aku masuk ke dalam rumah dan menunggu di ruang tamu. Lima belas menit aku menunggu dalam rasa takut dan penyesalan yang sebesar-besarnya atas apa yang telahku perbuat.
Menengok dekorasi rumah yang sungguh asing di mata, tak ingat kapan terakhir aku duduk bersama-sama, merasa semua menjadi berbeda sejak ku memalingkan rasa. Tak terasa tiga puluh menit menunggu, aku masih dalam rumah, sampai akhirnya aku berjalan ke dalam. Barulah melangkah ke dalam, dan akhirnya berpapasan dengan Ibuku.
Tak banyak berfikir apapun, langsung ku peluk erat Ibuku mengutarakan semua rasa yang telah ku sesali selama kepergian yang hampir dua bulan itu, “Mah maafin akang ya, maafin akang, akang sayang mamah” sambil meneteskan air mata yang tak sanggup tertahan, “Akang kemana aja, iya gapapa kang gapapa.” Semua rasa bercampur tak lagi mengedepankan Gengsi satu sama lain.
Setelah emosi mereda mulai lah aku bisa cerita panjang tentang kepergianku, “Iya kang, jangan lari dari masalah dalam hidup ini, adanya masalah itu untuk di hadapi sebagai upgrade diri” begitu kata-kata yang terucap oleh Ibuku, dan InsyaAllah akan selalu ku ingat dalam benakku.
Hidayah, satu kata menanggapi kisah ceritaku ini, betapa mahalnya hidayah itu, bagaimana Allah bersabda dalam kalam-Nya, “…tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qashash : 56).
Perjalananku belumlah usai, satu step yang perlu ku jalani lagi yaitu menjalankan masa depanku. Sungguh tak terbayang pastinya bagaimana atmosphere seseorang yang telah meninggalkan sekolahnya selama hampir dua bulan yang pastinya akan muncul banyak masalah, munculnya dilematik sosial dan hal lainnya yang sulit dipertimbangkan.
Akhirnya keputusanku sudah bulat, untuk sekali lagi ku kesampingkan gengsi, kali ini bersamaan dengan sifat maluku, karena masalah layaknya di hadapi bukanlah dihindari.
Sekali lagi dari semua pengorbananku inilah Allah menunjukan kepadaku jawaban atas pertanyaan yang selama ini ada dalam benakku, sesampainya di sekolah aku mulai berinteraksi dengan teman selayaknya tidak terjadi apa-apa, tapi disinilah semua terbuka sifat aslinya dan ku mulai memahami apa arti “Teman”.
Fastabaiqul khairat (berlomba-lombalah berbuat kebajikan), ini lah poin pertama yang diriku pahami dalam pertemanan setelah perjalanan lamanya mencari apa arti teman.
Iya, selayaknya kita berteman hanyalah karena agama, saling mengingatkan akan kebaikan, berlomba-lomba dalam kebaikan, selalu mengingatkan akan ke-Istiqamahan, mengedepankan Allah dalam segala situasi. Dari sini ku mulai memperbaiki diri dan memilah Lingkungan / Circle Positif tanpa menyakiti hati temanku dahulu, berharap mereka kembali ke jalan-Nya, konsultasi dengan guru, orang tua, teman yang telah dulu memilih jalan ini.
“Hafizh Qur ‘an”, ya inilah rangkuman intisari yang telah kudapat setelah konsultasi, memahami kehidupan asli, berbincang dengan teman yang berjuang dijalannya. Inilah tujuan hidup yang sejati, menggapai Rida Allah, memahami segala urusan itu semata-mata kehendak Allah.
Ya betul, tidak hanya dengan menjadi penghafal Qur ‘an saja untuk bisa menggapai Rida-Nya, bahkan masih banyak cara untuk bisa selalu dalam naungan-Nya. Mungkin inilah jalanku sebagaimana Allah bersabda dalam Qur‘an surah Fathir : 29 - 30.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” Bagiku inilah Investasi sesungguhnya.
Menjadi sebaik-baik manusia yaitu orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya. Begitu bunyi hadist dari Utsman bin Affan dari sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (Shahih Bukhari). Inilah sekarang yang menjadi target ku, “Menjadi Keluarga Allah”.
Din Muhammad Kautsar, Al-Hafizh